Kudis dan Kurapan sebagai Warisan yang Dilestarikan?
Mindset Santri: Kudis dan Kurapan sebagai Warisan yang Dilestarikan?
Bagi banyak santri, pondok pesantren bukan hanya tempat untuk belajar ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah untuk memahami makna kesederhanaan hidup. Di pesantren, hal-hal yang dianggap remeh oleh masyarakat umum sering kali menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah pengalaman dengan kudis atau kurapan penyakit kulit yang kadang menjadi cerita khas para santri.
Meski di dunia luar penyakit ini dianggap memalukan atau sesuatu yang harus segera dihindari, di lingkungan pesantren, keberadaan kudis atau kurapan memiliki nilai tersendiri dalam membentuk karakter santri. Fenomena ini sering kali menjadi bagian dari "mindset santri" yang penuh dengan humor, kebersamaan, dan filosofi unik.
Kudis dan Kurapan: Antara Realita dan Romantika Kehidupan Pesantren
Kudis dan kurapan adalah penyakit kulit yang umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang higienis. Banyak pesantren yang mempertahankan gaya hidup sederhana, termasuk tempat tinggal yang serba apa adanya. Hal ini sering kali menjadi pemicu munculnya penyakit kulit tersebut.
Namun, alih-alih mengeluh atau merasa rendah diri, para santri justru menjadikan kudis dan kurapan sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka. Ada guyonan khas yang sering terdengar:
"Santri sejati itu minimal pernah kena kurapan, biar tahu rasanya menjadi bagian dari perjuangan."
Hal ini mencerminkan bahwa kudis atau kurapan bukan hanya dianggap sebagai penyakit, tetapi juga simbol kesederhanaan dan solidaritas di antara santri.
Pola Pikir Santri: Mencari Hikmah dalam Segala Hal
Mindset ini tidak muncul begitu saja. Para santri diajarkan untuk selalu bersyukur dan melihat sisi positif dari setiap ujian. Kudis atau kurapan, meski menyakitkan dan tidak nyaman, sering kali dijadikan bahan introspeksi.
1. Kesabaran dan Keikhlasan
Mengalami kudis atau kurapan mengajarkan para santri tentang arti sabar. Mereka belajar untuk tidak mengeluh, menerima keadaan, dan tetap menjalani aktivitas dengan semangat.
2. Kebersamaan dan Solidaritas
Kudis dan kurapan sering menjadi cerita bersama di pesantren. Ketika satu santri terkena, biasanya yang lain juga ikut merasakan hal serupa. Dari sini, tercipta rasa kebersamaan dan saling peduli. Mereka saling berbagi obat tradisional, seperti mengoleskan minyak kelapa atau ramuan herbal, sambil tertawa bersama.
3. Simbol dari Perjuangan
Beberapa santri bahkan bercanda bahwa memiliki kudis atau kurapan adalah "tanda" bahwa mereka benar-benar sedang berjuang di jalan ilmu. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kehidupan pesantren adalah perjalanan menuju kematangan spiritual, di mana ujian fisik adalah bagian kecil dari perjuangan besar.
Pelestarian Budaya Kesederhanaan
Mindset bahwa kudis dan kurapan adalah sesuatu yang “dilestarikan” sebenarnya lebih mengarah pada pelestarian nilai-nilai kesederhanaan. Santri diajarkan untuk hidup bersahaja, tidak berlebihan, dan menerima segala kondisi dengan lapang dada.
Namun, bukan berarti para santri abai terhadap kebersihan. Seiring waktu, banyak pesantren yang mulai memperbaiki fasilitas sanitasi untuk mencegah penyakit kulit. Meski demikian, romantisme tentang kudis dan kurapan tetap menjadi bagian dari cerita klasik yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Menjaga Kesehatan Tanpa Kehilangan Esensi Kesederhanaan
Meskipun kudis dan kurapan menjadi cerita ikonik santri, penting untuk diingat bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari ajaran Islam. Rasulullah SAW sendiri sangat menekankan pentingnya menjaga kebersihan, seperti dalam hadits:
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim).
Pesantren era saat ini semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan tanpa kehilangan esensi kesederhanaan. Para pengurus pesantren sering kali mengadakan edukasi tentang kebersihan, menyediakan fasilitas mandi yang layak, dan memastikan para santri memahami pentingnya hidup sehat.
Kesimpulan Tulisan
Kudis dan kurapan di kalangan santri bukanlah sesuatu yang secara harfiah ingin dilestarikan. Namun, mindset yang berkembang di pesantren mengajarkan bahwa setiap ujian, sekecil apa pun, memiliki hikmah yang mendalam. Kudis atau kurapan hanyalah contoh kecil dari bagaimana santri belajar menerima takdir, bersyukur, dan tetap berjuang dalam segala keterbatasan.
Mindset ini adalah cerminan bahwa kehidupan pesantren bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga pembentukan karakter, penguatan iman, dan pelatihan untuk menghadapi kehidupan dengan hati yang lapang. Di balik cerita tentang kudis dan kurapan, tersimpan pelajaran besar tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan keteguhan hati yang menjadi identitas sejati seorang santri.
Penulis bernama lengkap Risma Nailul Muna, Santri Pondok Pesantren Shobarul Yaqien Kawunggirang Majalengka dan seorang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab yang menyukai dunia kepenulisan, senja, kuliner, dan puisi.
Komentar
Posting Komentar