Cerpen: Istriku Pujaanku
Pertemuan kami terjadi di sebuah seminar budaya di universitas. Saat itu, aku sedang mempresentasikan penelitian, dan di antara puluhan peserta, mataku tertuju pada seorang perempuan yang begitu anggun. Aisha, nama yang kelak menghiasi kehidupanku, adalah seorang mahasiswi keturunan Turki yang baru saja menyelesaikan studinya di Indonesia.
“Apa kabar?” tanyaku dengan gugup setelah seminar selesai.
Aisha tersenyum, senyumnya begitu tulus. “Alhamdulillah, baik. Presentasi tadi sangat menarik.”
Itu awal dari percakapan kami. Kami berbicara banyak hal—tentang budaya, pendidikan, bahkan makanan favorit. Aisha bercerita tentang kampung halaman ibunya di Turki dan bagaimana ia merasa Indonesia seperti rumah keduanya. Aku terpesona oleh kecerdasannya dan kehangatannya.
Beberapa bulan kemudian setelah aku banyak mengenal tentangnya aku merasakan kami banyak kesamaan dalam segala hal, aku memberanikan diri untuk melamarnya. Hari itu, dia mengenakan gaun hijau yang membuatnya terlihat seperti putri dari negeri dongeng. “Aisha, maukah kau menjadi istriku?” tanyaku dengan suara yang bergetar.
Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum. “Iya,” jawabnya lembut.
Omaigatttt, kaget sekaligus senang.
Pernikahan kami sangat sederhana namun penuh makna. Aisha adalah istri yang luar biasa. Setiap hari bersamanya adalah anugerah terindah. Dia memasak hidangan Turki, menceritakan kisah-kisah masa kecilnya, dan selalu ada di sisiku di saat susah maupun senang.
Namun, ada sesuatu yang selalu kurasa aneh. Terkadang, aku memergokinya terdiam lama di kamar, menatap jendela dengan ekspresi yang sulit kumengerti. Ketika kutanya, dia hanya menjawab, “Aku hanya sedang mengingat keluargaku di Turki.”
Beberapa tahun berlalu, hingga suatu malam, Aisha pingsan saat kami makan malam. Aku panik dan segera membawanya ke rumah sakit. Di sana, dokter memberiku kabar yang menghancurkan hatiku.
“Maaf, Pak, istri Anda sudah lama mengidap kanker. Kami menemukan bahwa penyakitnya sudah mencapai stadium akhir.”
Aku tertegun. “Apa? Kenapa dia tidak pernah bilang?”
Dokter hanya menggeleng, tampak iba. Aku segera masuk ke ruang rawatnya. Aisha sedang duduk di ranjang, tersenyum lemah saat melihatku.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita, Aisha?” tanyaku dengan suara parau.
Dia menggenggam tanganku erat. “Aku tidak ingin membebanimu. Aku ingin kamu bahagia, tanpa perlu melihat aku menderita.”
“Aisha... aku suamimu. Kenapa kamu pikir aku tak sanggup menghadapi ini bersamamu?”
Air matanya mengalir, tetapi dia tetap tersenyum. “Karena kamu adalah kebahagiaan terbesarku. Aku ingin melihatmu tersenyum sampai akhir.”
Sejak hari itu, aku bertekad untuk membuat hari-hari terakhirnya penuh dengan cinta. Kami sering berjalan-jalan di taman, menikmati waktu bersama, dan membicarakan kenangan indah kami.
Pada suatu pagi yang tenang, aku menemukannya tertidur dengan senyum di wajahnya. Dia telah pergi untuk selamanya, namun tak pernah pergi dari hatiku. Di sampingnya, ada sepucuk surat.
"Sayangku,
Terima kasih telah menjadi suami terbaik. Aku tidak takut pergi karena aku tahu cintamu akan selalu menyertaiku. Hidupkan kebahagiaan kita dalam kenanganmu. Jangan pernah berhenti tersenyum, untukku.
Aisha, istrimu.
Aku memeluk surat itu sambil menangis. Kehilangan Aisha adalah luka yang tak akan pernah sembuh, tetapi cintanya adalah kekuatan yang akan selalu kubawa. Setiap kali aku melihat gaun hijau yang pernah dia kenakan, aku merasa dia masih ada di sini, menemani langkahku.
---
Tamat.
Komentar
Posting Komentar