Cerpen : Cahaya Yang Padam



Prolog

Pesantren Nurul Hikmah berdiri tegak sebagai benteng ilmu agama di desa. Dipimpin oleh Kiai Haji Syamsul Ma’arif, seorang ulama yang disegani, pesantren ini melahirkan generasi cemerlang. Namun, di balik keagungan itu, keluarga Kiai menyimpan luka mendalam.

---

Bagian 1: Harapan di Tangan Pewaris  

Zaid duduk di serambi pesantren, mengajarkan tafsir kepada para santri. Ia berbicara dengan penuh wibawa. Ayahnya, Kiai Syamsul, memperhatikannya dari kejauhan, senyum bangga menghiasi wajahnya.  

“Zaid, kau sungguh menjadi kebanggaan Ayah,” ujar Kiai Syamsul ketika mereka berbicara di ruang keluarga.  

“Ini semua berkat bimbingan Ayah,” balas Zaid dengan takzim.  

Di sisi lain, Ilham, anak kedua, bersiap berangkat ke luar negeri. “Ilham, kau adalah harapan lain keluarga ini. Jangan lupa siapa dirimu,” pesan Kiai Syamsul.  

“Tenang, Yah. Ilham tak akan pernah lupa,” jawab Ilham, tersenyum.  

Arif, anak bungsu, hanya mengintip dari balik pintu. Ia merasa kecil di antara dua kakaknya yang bersinar terang.  

---

Bagian 2: Ketidakpastian

Arif semakin larut dalam kebingungannya. Ia merasa tidak memiliki tempat di dunia ini. Suatu malam, ia mengeluh pada ibunya.  

“Ibu, kenapa aku selalu dibandingkan dengan Kak Zaid dan Kak Ilham? Aku tidak tahu apa yang aku inginkan,” katanya, matanya berkaca-kaca.  

Ibunya, Nyai Fatimah, mengusap kepala Arif. “Kau istimewa, Nak. Kau hanya belum menemukan jalanmu.”  

Namun, manisnya kata-kata ibunya tak mampu menyembuhkan luka di hati Arif. Ia mulai mencari pelarian. Lingkungan pesantren yang ketat membuatnya tertarik pada kebebasan yang ditawarkan teman-temannya di luar.  

---

Bagian 3: Kejatuhan yang Menyakitkan  

Kiai Syamsul dikejutkan oleh kabar bahwa Arif sering terlihat di tempat perjudian. Zaid membawa kabar itu langsung ke ayahnya.  

“Ayah, kita harus melakukan sesuatu. Arif tidak bisa dibiarkan seperti ini,” ujar Zaid dengan nada tegas.  

“Dia masih muda, Zaid. Jangan keras padanya. Dia hanya butuh waktu,” jawab Kiai Syamsul, mencoba menenangkan diri.  

Zaid menggelengkan kepala. “Ayah, ini bukan soal waktu. Ini soal pilihan hidup. Kalau Ayah terus membela Arif, nama pesantren bisa hancur.”  

“Kau tidak akan mengerti, Zaid. Kau bukan seorang ayah!” bentak Kiai Syamsul, emosinya meluap.  

Pertengkaran itu membuat hubungan Zaid dan Kiai Syamsul renggang. Di sisi lain, Arif semakin terjerumus. Ia mulai menggunakan narkoba untuk melarikan diri dari tekanan.  

---

Bagian 4: Puncak Permasalahan

Suatu malam, polisi menggerebek tempat perjudian dan menangkap Arif. Nama pesantren Nurul Hikmah menjadi sorotan negatif. Wartawan berdatangan, menanyakan tanggapan Kiai Syamsul.  

“Kami akan menyelesaikan masalah ini secara internal,” ujar Kiai Syamsul, mencoba menahan rasa malunya.  

Namun, di dalam rumah, suasana jauh lebih mencekam.  

“Ayah, sampai kapan Ayah akan terus membelanya?” tanya Ilham, yang pulang dari luar negeri setelah mendengar kabar ini.  

“Dia anakku! Apa yang kalian tahu tentang cinta seorang ayah?” jawab Kiai Syamsul, matanya memerah.  

“Cinta tidak berarti membenarkan kesalahan, Ayah,” kata Zaid dengan tenang.  

Kiai Syamsul terdiam. Kata-kata Zaid menohok hatinya.  

---

Bagian 5: Akhir Cerita

Setelah berhari-hari merenung, Kiai Syamsul akhirnya membuat keputusan berat. Ia menemui Arif di sel tahanan.  

“Arif, Ayah tidak akan membiarkanmu terus seperti ini,” katanya dengan suara bergetar.  

“Ayah, maafkan aku,” jawab Arif, menangis. “Aku telah mempermalukan Ayah.”  

“Kau memang salah, tapi Ayah tidak akan pernah membencimu. Kau harus menjalani rehabilitasi. Ini demi kebaikanmu.”  

Arif mengangguk. Ia sadar bahwa cinta ayahnya adalah cahaya yang ingin menyelamatkannya dari kegelapan.  

---

Bagian 6: Penyelesaian  

Arif menjalani rehabilitasi selama satu tahun. Setelah kembali, ia mulai membantu di pesantren. Awalnya hanya membersihkan halaman, tetapi perlahan ia mulai belajar agama dengan tekun.  

Di ruang keluarga, Kiai Syamsul berbicara kepada ketiga anaknya.  

“keluarga kita pernah melewati badai, tapi kita harus bersyukur. Arif sudah kembali,” katanya.  

“Ayah, aku berjanji tidak akan mengecewakan keluarga lagi,” ujar Arif dengan penuh haru.  

Zaid merangkul Arif. “Kita akan membangun pesantren ini bersama.”  

Ilham menambahkan, “Dan aku akan terus mendukung dari luar.”  

Pada akhirnya Pesantren Nurul Hikmah kembali bersinar, membawa hikmah dari masa lalu yang penuh luka. Arif kini menemukan tempatnya sebagai anak bungsu yang pernah hilang arah, tetapi akhirnya kembali pada cahaya yang hakiki.  


Penulis Cerita : Risma Nailul Muna, ia adalah seorang Santri aktif di Pondok Pesantren Shobarul Yaqien yang menyukai dunia kepenulisan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daurah Lughah Al-Arobiyyah: Kolaborasi Daar El-Lughoh Al-Arobiyyah Majalengka dan Santri Pedia Berlangsung Sukses

Mengatasi Hutang dengan Doa dan Keyakinan: Amalan dari Abuya Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki

AKIBAT FILM PORNO